Thursday, August 9, 2007

Antioksidan, Radikal Bebas, dan Penuaan

Antioksidan, Radikal Bebas, dan Penuaan

BAGI Waljinah (57), penyanyi keroncong tembang Jawa, keriput mulai muncul masa usia tua bukanlah sesuatu perlu diresahkan. Kerut-kerut di kulitnya justru penanda kesemarakan hidup yang pernah dilaluinya. Tak heran, meski telah bercucu enam, nenek ini tetap berparas segar. "Resepnya, ya selalu gembira, nrimo ing pandum (penuh rasa syukur), dan mungkin karena sejak gadis rajin minum jamu," tutur Waljinah.

SEPERTI dimaknai Waljinah, menjadi tua adalah takdir, hukum alam yang tak dapat ditepis. Ketika kehidupan itu dimulai meski ia baru berupa noktah sel embrio, proses penuaan pun serta-merta berlangsung. Namun, kini para ahli dengan segala kecanggihan penemuannya berteori, proses takdir itu dapat diperlambat. Tersebutlah sebuah zat bernama antioksidan. Lalu, seberapa jauh sebenarnya peran si antioksidan itu?

Antioksidan merupakan zat yang anti terhadap zat lain yang bekerja sebagai oksidan. Zat lain itu populer disebut radikal bebas, yaitu suatu molekul oksigen dengan atom yang pada orbit terluarnya memiliki elektron yang tidak berpasangan. Karena kehilangan pasangannya itu, molekul lalu menjadi tidak stabil, liar, dan radikal.

"Akibatnya, ia selalu berusaha mencari pasangan elektron, tetapi dengan cara yang radikal, yaitu merebut elektron dari molekul lain tanpa pandang bulu. Makanya ia disebut radikal bebas atau reactive oxygen species (ROS)," kata ahli Biokimia Dr Mohamad Sadikin DSc dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Perbuatan si radikal bebas ini berakibat destruktif bagi molekul sel lain yang elektronnya dirampas. Parahnya, aksi perampasan elektron itu menimbulkan reaksi berantai sehingga radikal bebas terlahir semakin banyak. Radikal bebas merusak molekul makro pembentuk sel, yaitu protein, karbohidrat (polisakarida), lemak, dan deoxyribo nucleic acid (DNA).

Akibatnya, sel menjadi rusak, mati, atau bermutasi. Peristiwa itu menjadi salah satu penyebab berbagai penyakit degeneratif seperti kanker dan penuaan sel. Pada sel kulit, misalnya, radikal bebas akan merusak senyawa lemak pada membran sel. Lalu, kulit kehilangan ketegangannya (rigor) dan muncullah keriput.

Sadikin menjelaskan, peran jahat radikal bebas ini bukan berarti ia boleh dienyahkan. Sebab, akhirnya para ahli menemukan, radikal bebas dalam kadar tertentu justru diperlukan untuk pertahanan tubuh. Ketika kuman masuk ke dalam tubuh, sel darah putih (lekosit) akan menghancurkan dan memakan kuman dengan bantuan si radikal bebas.

"Seperti filosofi Yin dan Yang. Dalam keburukan si radikal bebas, ada setitik kebaikan yang sangat esensial," kata Sadikin. Masih berprinsip pada keseimbangan Yin dan Yang, keseimbangan komposisi antara radikal bebas dan antioksidan mutlak diperlukan di dalam tubuh.

Bagaimana bisa muncul radikal bebas ini? Radikal bebas muncul sebagai konsekuensi dari adanya kehidupan itu sendiri. Setiap makhluk hidup perlu energi untuk bertahan hidup. Makhluk hidup, termasuk manusia, akan selalu memproduksi radikal bebas sebagai produk samping dari proses pembentukan energi.

Energi itu diperoleh dari proses metabolisme dengan mengoksidasi (membakar) zat-zat makanan, seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Zat-zat itu akan dikonversi menjadi senyawa pengikat energi atau Adenosin Triphospat (ATP) melalui proses metabolisme dengan bantuan oksigen. Dalam proses oksidasi itulah radikal bebas (ROS), yaitu anion superoksida dan hidroksil radikal turut terproduksi.

Selain lahir dari proses metabolisme, radikal bebas juga muncul pada setiap kejadian pembakaran, misalnya merokok, memasak, juga aktivitas pembakaran bahan bakar pada mesin dan kendaraan bermotor. Ketika sinar ultraviolet menerpa suatu benda terus-menerus, elektron atom benda tersebut akan meloncat dari orbitnya, dan terciptalah radikal bebas.

Singkatnya, radikal bebas akan selalu bertebaran di mana-mana. Api adalah radikal bebas yang dapat dilihat dengan mata. Layaknya radikal bebas, sifat api pun sangat reaktif dan sulit dikendalikan jika merajalela.

Supaya radikal bebas tidak merajalela, tubuh dengan sendirinya spontan memproduksi zat antioksidannya. Antioksidan yang diproduksi dari dalam tubuh (endogen) berupa tiga enzim yaitu, superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH Px), katalase, serta non enzim, yaitu senyawa protein kecil glutation.

Ketiga enzim dan senyawa glutation itu bekerja menetralkan radikal bebas. Pekerjaannya itu dibantu oleh asupan antioksidan dari luar (eksogen) yang berasal dari bahan makanan. Misalnya, vitamin E, C, betakaroten dan senyawa flavonoid yang diperoleh dari tumbuhan.

Ahli gizi dari Pusat Kajian Gizi Fakultas Kedokteran UI dr Victor Tambunan MS menjelaskan, dalam proses melumpuhkan radikal bebas, peran antioksidan eksogen sangat sistematis. Pertama-tama vitamin E akan menangkap (scavenging) radikal bebas. Malangnya, vitamin E itu lalu berubah menjadi vitamin E radikal sehingga perlu pertolongan vitamin C.

Apa boleh buat, setelah menangkap vitamin E radikal, si vitamin C malah ikut menjadi vitamin C radikal juga. Akhirnya, barulah glutation yang mampu menetralkan vitamin C radikal menjadi senyawa yang lebih kalem tanpa menjadikan dirinya turut radikal.

LALU, perlukah kita menambah suplemen antioksidan untuk mengatasi keliaran si radikal bebas? Jawaban akhirnya akan normatif. Suplemen antioksidan yang populer di pasaran, yaitu vitamin C, E, dan betakaroten. Namun, fakta perlu diketahui, hingga saat ini para ahli masih sulit memastikan berapa komposisi yang seimbang antara radikal bebas dan antioksidan di dalam tubuh.

Dengan demikian, otomatis dosis suplemen antioksidan yang tepat juga belum dapat dipastikan. Sementara beberapa studi menunjukkan, kelebihan antioksidan justru merugikan hingga membahayakan

Tambunan menjelaskan, selama asupan makanan cukup baik dan menjauhi pola hidup tak sehat, suplemen makanan seperti multivitamin sama sekali tidak dibutuhkan. Suplemen dibutuhkan hanya ketika seseorang menderita luka bakar serius, infeksi yang luas, aktivitas fisik berat, atau stres yang hebat.

Orang yang merokok atau, pekerjaannya harus diterpa polusi dan sinar matahari terus- menerus, seperti polisi lalu lintas, juga memerlukan suplemen tersebut. Asumsinya, asupan makanan yang bervitamin antioksidan tidak cukup dibandingkan terpaan radikal bebas. Dengan demikian, tubuh orang itu dalam kondisi stres oksidatif atau komposisi radikal bebasnya lebih banyak.

Menurut Tambunan, suplemen yang paling utama dibutuhkan orang-orang tersebut adalah vitamin C dengan dosis antara 100-500 miligram per hari. Soal dosis memang masih kontroversi. Sebab, jika vitamin C yang diasup ternyata berlebihan bagi tubuh, vitamin C tersebut justru menjadi vitamin C radikal yang sifatnya sama dengan radikal bebas. Glutation tidak lagi sempat menetralkannya karena jumlahnya yang berlebihan. Memang, sebagian yang berlebih itu dapat larut bersama urine, tetapi potensi radikal tetap ada.

Hal yang sama berlaku pada vitamin E, yang jika berlebihan dapat menjadi vitamin E radikal. Ada pula teori yang mengatakan, kelebihan vitamin E dapat mengganggu proses pembekuan darah jika terjadi luka. Selain itu, vitamin E akan terakumulasi di jaringan tubuh yang mengandung lemak seperti liver dan berpotensi meracuni liver.

Tambunan menuturkan, suatu penelitian antioksidan di Amerika Serikat dilakukan pada orang-orang yang merokok dan sekaligus menderita kanker paru. Sebagian dari mereka diberi suplemen betakaroten dosis tinggi, sebagian yang lain diberi plasebo (pil kosong). Dugaan awal, kelompok yang diberi betakaroten sel kankernya dapat terkendali. Yang terjadi cukup mengejutkan, kelompok yang diberi betakaroten justru menunjukkan perkembangan sel kanker. "Pemberian betakaroten itu lantas segera dihentikan," tutur Tambunan.

Selama ini di pasaran suplemen vitamin E dan C umumnya dijual dalam dosis relatif tinggi per tabletnya, bahkan beberapa merek vitamin C berdosis hingga 1.000 mg per tablet. Padahal, menurut Tambunan, kecukupan gizi vitamin C per hari hanya 60 mg. Untuk vitamin E, cukup 8-10 IU per hari. Tambunan menambahkan, kadar tersebut cukup terpenuhi dari bahan makanan sehari-hari. Vitamin C, misalnya, banyak terkandung dalam jambu klutuk, jeruk, atau kiwi. Vitamin E bisa diperoleh dari sayur-sayuran seperti kecambah, kedelai, atau kuning telur.

Dengan demikian, orang di luar kondisi yang berpotensi stres oksidatif praktis tidak dianjurkan mengonsumsi suplemen antioksidan. Sebaliknya, sangat dianjurkan berusaha mengonsumsi makanan cukup gizi, sebab asupan antioksidan dari makanan sangat kecil risiko berlebihan. Memang klasik, tetapi empat sehat lima sempurna memang jawabannya.

Tambunan menyarankan, konsumen harus pandai mengukur kondisi fisiknya sendiri. Suplemen baru dianjurkan ketika tubuh mendapat beban fisik yang cukup berat, atau terpaksa berada di kondisi yang sangat terpolusi. Artinya, mengonsumsi suplemen tidak dianjurkan setiap hari, melainkan tergantung pada kondisi yang dihadapi seseorang.

PENYANYI keroncong Waljinah pun rupanya cukup bijak dalam mengonsumsi suplemen vitamin. Ketika harus menembang hingga dini hari pada pagelaran wayang kulit, barulah dia meminum vitamin C setelah menyantap makan malamnya. "Kalau tiap hari, saya lebih memilih minum wedang jahe dan kencur saja sudah cukup. Namanya wanita Jawa, ya minum jamu," kata Waljinah.

Baik Tambunan maupun Sadikin mengingatkan, suplemen makanan seperti multivitamin dan mineral sama sekali bukan sumber energi seperti yang ditonjolkan oleh berbagai iklan. "Itu pembodohan massa. Sumber energi hanyalah karbohidrat, protein, dan lemak. Vitamin dan mineral hanya semacam oli pelincir pada mobil. Ia melancarkan proses pembentukan energi," papar Sadikin.

Oleh karena itu, Tambunan menegaskan, mengonsumsi multivitamin dan mineral dalam dosis tinggi tanpa makanan yang baik merupakan kemubaziran dan justru dapat membahayakan. Glutation, sebagai antioksidan endogen, eksistensinya di dalam tubuh sangat tergantung pada asupan zat-zat makanan, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak. Tanpa glutation, proses penyeimbangan radikal bebas di dalam tubuh bisa kacau-balau.

Selama ini suplemen antioksidan sering kali mengklaim bahwa antioksidan adalah senjata ampuh menghambat kerja radikal bebas yang menyebabkan penuaan sel, salah satunya sel kulit.

Padahal, menurut ahli kulit sekaligus Ketua Studi Dermatologi dan Kosmetika Indonesia dr Sjarif M Wasitaatmadja Sp KK, penuaan tidak hanya disebabkan oleh aktivitas radikal bebas. Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor genetika, usia, dan gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok, minum alkohol, dan kurang istirahat.

Sjarif menjelaskan, berhubung dosis suplemen vitamin antioksidan secara oral masih kontroversi, pemberian vitamin antioksidan lebih aman secara topikal (pengolesan di kulit) yang berdosis cukup rendah. Terapi itu hanya dapat menghambat penuaan dini akibat radikal bebas yang dihasilkan dari polusi. Sementara faktor lain penyebab penuaan, seperti genetik dan usia, tidak dapat dicegah. Penuaan tetaplah takdir.

Sjarif menegaskan, mengatasi penuaan dini bukanlah dengan merekomendasikan suplemen antioksidan. Namun, menganjurkan supaya seseorang hidup sehat dan menjauhi stres. Sebab, stres itu sendiri memicu produksi hormon-hormon tertentu seperti adrenalin, yang jika berlebih dapat merugikan. Selain itu, kondisi stres juga akan memicu munculnya senyawa fitokin berlebihan yang dapat merusak sel.

"Jangan mencari pembenaran, oke kamu boleh ngerokok, nih saya beri antioksidan. Tapi, hey stoplah merokok, makan yang sehat kalau mau awet muda. Jangan stres, nikmatilah menjadi tua," ujar Sjarif.

Boleh jadi nasihat Waljinah memang tepat. Resep awet muda justru dimulai dari pikiran yang positif dan hati yang riang. Jadi, keriput? Siapa takut!(B14)

Search :






















0 comments:

Post a Comment